Menjauhkan Anak Sejak Dini Dari Unsur Kriminalitas

Adib Setiawan, M.Psi - 2016-05-09 10:29:45
Adib Setiawan, M.Psi
 

TANYA :

"Assalamu'alaikum Pak Adib, saat ini kita ketahui di media, banyak orang yang terlihat baik-baik saja, biasa saja, tenang, namun ternyata dia bisa terlibat/melaku­kan tindakan kriminal. Saya jadi paranoid mengenai itu, Bagaimana agar kita tidak paranoid terhadap kriminalitas dan men­jaga keluarga kita agar terhindar dari laten tindak crime. Mohon pencerahannya. Terima kasih"

Keppy Damayanti, Surabaya

JAWAB :

Wa alaikumsalam Ibu Keppy Dama­yanti di Surabaya. Kejadian kriminal tidak serta merta muncul. Namun kondisi itu biasanya terkait dengan masa lalu si pe­laku bagaimana perjalanan seseorang sehingga ketika dewasa menampilkan tindakan kriminal. Tindakan kriminal yang sering muncul misalnya melakukan keke­rasan fisik kepada orang lain, melakukan kekerasan seksual, mencuri, menipu, ko­rupsi, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Kenapa hal tersebut muncul pada orang dewasa? Bagaimana masa lalu orang tersebut ketika anak-anak dan bagaimana orang dewasa selaku orang tua supaya anaknya suatu saat nanti ti­dak menjadi pelaku kriminal yang muncul akhir-akhir ini.

Para orang tua berharap anak-anaknya kelak menjadi anak yang mandiri, sholeh, dan sukses sesuai harapan orang tua. Ba­gaimana mewujudkannya tentunya para orang tua perlu belajar dari orang tua ma­sing-masing. Jika orang tua merasa bahwa orang tuanya sudah berhasil mengasuh anak, maka cara dia mengasuh anaknya dapat diteruskan. Tidak ada salahnya bela­jar dari orang tua zaman dulu yang sudah berhasil mengasuh anak. Bukti orang tua zaman dulu berhasil mengasuh anak ada­lah anak dari orang tua atau saudara-saudara kita terbebas dari perilaku kriminal. Orang tua zaman dulu biasanya mene­rapkan pola asuh autoritatif yaitu membe­baskan anak supaya mandiri dan mampu belajar dari lingkungannya. Anak yang dibebaskan, dilatih bebas yang bertang­gungjawab maka membuat anak ber­tanggungjawab, mandiri, dan terbebas dari perilaku kriminal. Anak yang bertang­gungjawab berusaha berusaha berjuang untuk meraih sesuatu baik prestasi dan sesuatu yang ingin dicapai.

Bagaimana jika saudara kita ada yang menjadi pelaku criminal? Pengasuhan orang tua sebelumnya perlu dievaluasi. Jika ditelusuri lebih lanjut biasanya orang tua yang anaknya menjadi perilaku krimi­nal biasanya karena faktor pengasuhan orang tua yang tidak mengajarkan "mana yang boleh dengan mana yang tidak bo­leh" dilakukan anak. Mungkin karena orang tua memiliki banyak anak dan tidak mengajarkan aturan ke anak. Perilaku kri­minal anak muncul dimulai dari cikal bakal ketika anak pada usia 5 tahun tidak diajar­kan "mana yang boleh dengan yang tidak boleh" dilakukan oleh anak. Misalnya anak tidak diajarkan konsep hak milik sehingga anak mengira benda yang dilihatnya ada di dekatnya adalah miliknya.

Ketika anak menangis sering kali merasa bahwa barang orang lain kemudian diperbolehkan dimiliki anak. Pada usia SD anak mulai terbiasa mengambil uang orang tuanya langsung dari dompet orang tua. Hal tersebut akhirnya dikembangkan dengan mengambil uang saudara kand­ungnya. Anak ini mengira bahwa uang milik bersama dan bukan miliki orang lain. Hal ini yang membuat anak SD belum bisa membedakan hak milik.

Ketika anak SMP karena tidak diajar­kan konsep hak milik kemudian meng­ambil barang orang lain menjadi kebia­saan. Contohnya anak SMP memakai sandal teman tanpa izin. Di rumah karena mengambil uang orang tua dan saudara kandung tidak dilarang, sehingga mem­buatnya merasa uang orang lain adalah miliknya. Hal ini akhirnya dia melakukan mengambil barang temannya sendiri, misalnya mengambil uang atau handphone. Atau kadangkala anak mengambil uang orang tua dalam jumlah yang besar. Anak pun menjadi berpotensi mengambil barang orang lain karena tidak dilarang oleh kedua orang tuanya. Jika sekolah gagal mengatasi anak yang mengambil barang temannya, maka ketika dewasa anak bisa menjadi pencuri. Apalagi dia memiliki teman yang kurang beruntung misalnya merantau maka bisa membuatnya mencuri di tempat lain.

Perilaku kriminal bisa muncul juga se­bagai akibat kenakalan remaja. Misalnya anak yang merasa jagoan di kelasnya merasa anak tersebut hebat, menjadi jagoan dan merasa tidak ada yang mengalahkan­nya. Anak ini yang merasa jagoan juga ikut perkelahian pelajar yang bisa berdampak menyakiti siswa dari sekolah lain. Anak yang suka berkelahi ini biasanya ketika usia TK sudah terbiasa mengganggu te­mannya. Dia kadang kala suka memukul orang lain dan seringkali mudah marah. Dia menyangka segala masalah bisa di­selesaikan dengan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh anak biasanya jika si anak suka bermain game superhero, anak suka memukul orang tuanya, tetapi diper­bolehkan dan tidak ada konsekuensi.

Anak yang suka melakukan kekerasan pada anak lain biasanya anak yang suka dibanggakan orang tuanya, terlalu disay­ang dan anak suka ikut kegiatan fisik misal­nya kegiatan bela diri. Anak yang suka me­lawan juga sering terjadi pada keluarga yang orang tuanya bercerai atau kedua orang tuanya suka berantem. Pelaku per­kelahian pelajar bisa muncul saat pulang sekolah atau ketika sedang menonton bola. Orang tua yang tidak peduli pada anak membuat anaknya merasa tidak pu­nya kepedulian dan empati sehingga de­ngan mudah menjadi perilaku kriminal. Oleh sebab itu meneliti siapa teman si anak juga penting supaya anak tidak ikut menjadi pelaku kekerasan ataupun men­jadi korban kekerasan.

Anak menjadi pelaku kriminal bisa juga terkait dengan trauma masa lalu. Sesuatu yang menjadikan trauma masa lalu cukup banyak. Misalnya si anak menjadi korban kekerasan dari orang tua,. Misalnya anak pernah diseret dan dipukuli orang tua, maka anak bisa menjadi pribadi yang pendendam dan anak menjadi pribadi yang sulit. Seseorang yang menjadi pribadi yang sulit maka bisa saja ketika remaja melakukan tindakan kriminal. Misalnya kalau di Amerika ada anak yang menembak ke segala penjuru dengan tembakan yang berisi peluru. Anak-anak yang suka mendapatkan kekerasan yang akut dari orang tua seringkali mengidentifikasi diri menjadi tokoh jahat dari film superhero. Hal inilah kadangkala ada anak yang menjadi psikopat ketika dewasa kemudian menjadi perilaku kriminal.

Trauma bisa juga ketika anak menjadi korban kekerasan seksual. Misalnya anak SD atau TK yang pernah menjadi korban pedofil, maka dia menjadi trauma. Ketika menjadi trauma maka ketika dia dewasa berpotensi menjadi pelaku pedofil. Ketika anak tersebut dewasa menjadi pelaku pedofil, maka perilaku tersebut merupakan tindakan kriminal. Trauma bisa juga ketika orang tua terlalu keras pada anak sehingga anak hanya dituntut mengembangkan kemampuan kemampuan intelektual. Sebaliknya kemampuan  kecerdasan emosi tidak dikembangkan oleh orang tua. Anak-anak yang cerdas secara intelektual tanpa diimbangi oleh kecerdasan emosi bisa menjadi pribadi yang berkepribadian sulit.

Kecerdasan emosi terkait dengan keterampilan sosial, misalnya anak mau membantu orang lain, menghargai orang lain, empati pada orang lain, mau meminta maaf pada orang lain, dan mudah mengucapkan terima kasih. Seseorang yang dari kecil hanya dituntut secara akademis tanpa dikembangkan keterampilan sosial, maka membuat anak bisa menjadi pelaku kekerasan dan tindakan kriminal ketika besar nanti. Anak-anak yang pintar secara akademis saja, tetapi tidak dilatih kecerdasan emosi, bisa juga menjadikan dia seorang penipu. Apalagi jika seseorang terbiasa dalam kegiatan yang melanggar aturan, misalnya anak suka melakukan hubungan yang dilarang agama, maka bisa berdampak anak menipu orang lain. Penipu juga sering terjadi anak pada yang pintar, tetapi sering dimanja dengan badan yang mengalami obesitas. Sese­orang yang mengalami obesitas ketika dewasa bisa berpotensi menipu orang lain. Hal ini karena anak terlalu dimanja, sehingga kontrol makan sulit diatur dan ti­dak mampu mengontrol perilaku lainnya.

Perilaku kriminal yang sering muncul lainnya adalah korupsi. Korupsi muncul karena seseorang tidak memiliki integri­tas dan kejujuran. Lingkungan yang korup biasanya mempengaruhi seseorang untuk korupsi. Atau lebih dikenal dengan 'korup­si berjamaah: Anak perlu dilatih sejak dini untuk menolak hal-hal yang sifatnya tidak jujur. Korupsi merupakan jalan pintas se­seorang menjadi kaya. Seseorang yang korupsi tergoda karena iman yang kurang kuat dan nilai ketaqwaan pada Tuhan ku­rang diinternalisasi olehnya. Ketika seko­lah biasanya lebih menonjolkan kecer­dasan akademik saja dari pada kecerdasan emosional yang di dalamnya ada unsur menolong, menghargai orang lain dan ke­jujuran. Anak juga perlu memiliki keahlian ketika remaja sehingga ketika besar mam­pu mencari rizki yang halal.

Kesimpulan

Setiap orang berpotensi mehjadi orang baik se­panjang sejak kecil dididik dengan baik. Misalnya tidak ada kekerasan dalam mengasuh anak. Pastikan anak tidak trauma, mau bercerita pada orang tua, memiliki keahlian untuk mencari rizki di kemudian hari, dan anak memiliki kecerdasan emosi yang baik misalnya membantu orang lain, empati, menghargai orang lain, komunikatif, jujur, dan berani membela kebenaran. Pastikan anak memiliki emosi yang tenang dan mampu berinteraksi secara positif dengan orang lain. Ciptakan keluarga yang harmonic, bahagia, dan sejahtera, maka anak ketika dewasa akan menjadi manusia yang kuat secara kepribadian dan terbebas dari sifat kriminalitas

Berikut tips supaya anak tidak menjadi perilaku kriminal di kemudian hari :

1. Jangan melakukan kekerasan fisik dan verbal pada anak. Upayakan segala masalah diselesaikan dengan komunikasi.

2. Jangan membuat anak trauma baik trauma yang dise­babkan orang tua atau lingkungan sekitar.

3. Jika anak pernah trauma sebaiknya segera dibawa ke psikolog supaya mendapatkan penanganan sehingga di kemudian hari tidak menjadi perilaku kriminal seper­ti saat is menjadi korban.

4. Latih anak bercerita pada orang tua sejak dini sampai is dewasa. Dengan sering bercerita pada orang tua maka masalah anak teratasi dan anak tidak mengalami trauma.

5. Berikan dukungan sosial dan kasih sayang yang cukup pada anak sehingga anak merasa bahagia hidup de­ngan keluarganya.

6. Ajarkan keterampilan sosial pada anak sejak dini se­perti keterampilan membantu orang lain, menghor­mati orang lain, mengucapkan terimakasih, meminta maaf jika salah, jujur, adil, rela berkorban dan sifat-sifat positif lainnya.

7. Latih kecerdasan akademik dan kecerdasan emosi se­cara seimbang. Sebaiknya anak tidak hanya dilatih se­cara akademik tetapi emosinya tenang, interaksi sosial baik pada orang lain dan memiliki sifat yang positif se­perti empati, toleransi dan mau membantu orang lain.

8. Pastikan anak tidak marah terhadap masa lalunya se­hingga anak terbebas dari beban masa lalu yang bisa menjadikan anak menjadi pribadi yang sulit.

9. Selalu berdoa pada Tuhan supaya anak di lindungi oleh Tuhan dan anak berperilaku sesuai harapan orang tua.

10. Pastikan anak berteman dengan orang-orang yang baik misalnya tidak narkoba dan minum-minuman ke­ras.

11. Pastikan anak punya keahlian ketika dewasa untuk menjadi bekal mencari nafkah yang halal, dll.

Sumber : ESQ Life A Family Magazine edisi 08/April/2016.


 
Index Berita
 
 


© 2024 YPPI.All rights reserved. Design by ideweb,Developer