Bagaimana Menghadapi Si Generasi Z Yang Melek Teknologi
Rizki Washarti Siregar, BA, M.Psi - 2018-07-30 08:08:37

Berdasarkan rentang tahun kelahiran, anak-anak sekarang lazim disebut sebagai anak Generasi Z, yang lahir antara tahun 1995-2010/2011. Jika anak-anak generasi sebelumnya yakni Generasi Y mengenal dunia digital dan internet seiring masa tumbuh mereka, maka Generasi Z lahir saat internet bukan lagi hal baru karena mereka lahir di era dunia digital dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Inilah yang menjadi ciri khas Generasi Z yang umumnya mahir menggunakan teknologi dan tidak canggung terhadap interaksi digital atau yang berlangsung di dunia maya. Mereka juga tidak takut memelajari teknologi yang baru. Seperti disampaikan Psikolog Rizki Washarti Siregar, BA, M.Psi, mereka hidup pada era perubahan terjadi dengan cepat dan batasan antara negara, bahkan benua tidak menjadi soal yang berarti lagi. Anak-anak yang tumbuh di era ini sudah terbiasa mendapatkan sesuatu dengan instan dan cenderung mudah bila dibandingkan dengan Generasi Y yang lahir pada tahun 1981 hingga 1994.
“Generasi Z umumnya ‘melek’ teknologi, mereka juga rata-rata terbiasa multitasking atau mengerjakan beberapa pekerjaan di saat yang bersamaan, seperti pergi ke sekolah sambil ambil foto pemandangan di jalan, lalu diunggah ke sosial media, lalu chatting dengan orang tua di Whatsapp, mendengarkan musik, dan lain sebagainya,” jelas psikolog yang disapa Kiki ini.
Jarak antara ruang dan waktu yang nyaris tidak menjadi soal bagi mereka, membuat mereka pun lebih mudah terpapar dengan kehidupan dan gaya hidup lintas budaya. Karenanya, tak heran banyak pula bermunculan anak-anak Generasi Z yang berprestasi. Sebut saja Rafa Jafar (baca juga di sini)di usia 12 tahun terpikir membuat tempat sampah untuk barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai, ada juga Fayanna (baca di sini) yg masih 13 tahun sudah membuat 43 buku anak. Menurut Kiki, hal ini bisa diduga berkaitan erat dengan era mereka tumbuh yang membuat akses terhadap ilmu dan pengetahuan sudah lebih mudah berkat internet.
“Tetapi seperti pada generasi-generasi terdahulu, pengaruh faktor internal seperti motivasi pribadi dan pengaruh eksternal seperti dukungan orang tua, keluarga, guru-guru di sekolah, tetap menjadi faktor sangat penting yang tidak bisa dipungkiri pengaruhnya,” kata Kiki.
Kiki menambahkan, bila seorang anak tidak memiliki motivasi yang kuat, rasa ingin tahu yang besar, rasa kepedulian terhadap sesama dan lingkungan yang besar, maka terlahir sebagai Generasi Z bukan merupakan faktor jaminan anak tersebut akan otomatis berprestasi.
“Orang tua tetap harus memberi dukungan positif kepada anak, membuka kesempatan mereka belajar dan mempelajari hal-hal baru. Para guru tetap harus memberi siswa kesempatan untuk berkarya, memiliki ide-ide kreatif, mengembangkannya, dan lainnya,” tutur Kiki.
Seimbangkan Dunia Maya dan Dunia Nyata
Bagi para orang tua yang memiliki anak Generasi Z, menurut Kiki hendaknya menyeimbangkan kehidupan mereka di dunia maya dan di dunia nyata. Misalnya, memastikan mereka tidak lebih banyak meluangkan waktu di sosial media atau bermain game online ketimbang bermain di dunia nyata seperti main sepak bola atau main masak-masakan. Sebab, komunikasi tatap muka tetap penting untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain di sekitar kita, yang terkadang tidak selalu dapat dipahami dengan jelas melalui interaksi digital.
“Pada dasarnya manusia itu mahluk sosial dan kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. Oleh karena itu, kita perlu belajar bekerja sama, bertenggang rasa, hidup bertoleransi dan ini dapat dilakukan jika sejak usia dini sudah terbiasa hidup dan berbagi dengan sesama. Interaksi di dunia nyata yang akan mengajarkan kita hal-hal ini,” papar psikolog dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia, Bintaro, Jakarta Selatan ini. .
Selain itu, lanjutnya, orang tua perlu mengajarkan anak bahwa berinteraksi di dunia maya bukan berarti dapat menulis atau mencela sesuka hati. Norma, sikap sopan santun dan saling menghargai juga berlaku di dunia maya sehingga kita tidak bisa bersikap sesuka hati di media sosial.
Orang tua dengan anak yang lahir di Genarasi Z memiliki keuntungan akses terhadap pendidikan sudah mudah. Anak-anak bisa belajar dari menonton YouTube dan belajar bahasa asing dengan mengakses kanal belajar bahasa contohnya. Namun, tetap ada hal-hal yang harus diingat orang tua.
“Pastikan mereka belajar dari sumber yang tepat, sebab arus informasi dewasa ini begitu deras, sehingga orang tua perlu pintar-pintar memilah informasi yang baik dan memastikan anak tidak memiliki akses terhadap hal-hal negatif seperti konten pornografi atau yang menampilkan kekerasan,” pungkas Kiki.
sumber : http://wanitaindonesia.co.id/index.php?view=viewarticle&id=18070054